TEMPO.CO, Jakarta - Perempuan yang divonis mengidap kanker tentu merasa terguncang, bingung, dan membutuhkan informasi yang tepat mengenai penanganan penyakitnya. Mereka akan berobat ke mana pun supaya sembuh. Hanya saja, perjuangan untuk mendapatkan kesembuhan itu terkadang begitu menyiksa, sama seperti penyakit yang sedikit demi sedikit menggerogoti tubuhnya.
Baca juga:
Benarkah Deodoran Penyebab Kanker? Cek 3 Fakta Ini
Punya Anak Remaja? Waspada dengan Kanker yang Satu Ini
Pendiri Lovepink Indonesia, Shanty Persada mengatakan sulitnya proses pengobatan yang dijalani pasien kanker kerap membuat mereka putus asa dan akhirnya berhenti. "Ketika ibu terkena kanker, maka keluarga bisa bangkrut," kata Shanty di acara Diskusi "Suara Penyintas Kanker Perempuan - Satukan Suara untuk Penanganan Kanker Perempuan yang Lebih Baik" di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa 27 Maret 2018.
Shanti menjelaskan biaya pengobatan untuk pasien kanker sangat mahal. "Kami bersyukur BPJS bisa mengcover, tapi banyak juga yang harus diperbaiki," ucapnya. Beberapa hal yang mesti diperbaiki misalnya sistem antrean di rumah sakit, peralatan yang belum memadai, dan ruwetnya administrasi BPJS yang kini mesti diperbarui setiap 3 bulan. "Antrenya panjang, konsultasi dengan dokter sebentar, kesulitan akses ke rumah sakit, dan bayangkan pasien yang mentalnya drop harus bolak-balik mengurus administrasi."
Menurut dia, sistem online BPJS harus diperkuat. Contoh, pasien kanker yang hendak berobat cukup mendaftar secara online ke rumah sakit tujuan dan mengambil antrean. Dari situ bisa diketahui apakah dokternya praktik aatu tidak dan tak perlu lama menunggu di rumah sakit. "Jangan sampai pasien sudah jauh-jauh datang ke rumah sakit, di sana antre lama, dan belum tentu bertemu dengan dokter yang dituju. Padahal ongkos ke rumah sakit tidak ditanggung oleh BPJS," katanya.
Ketua Cancer Information and Support Center atatu CISC, Aryanthi Baramuli mengatakan dengan banyaknya keluhan dari para pasien kanker, khususnya kanker payudara dan kanker serviks yang berkaitan dengan perempuan, mencerminkan belum tepatnya kebijakan yang dibuat pemerintah dengan kebutuhan pasien. "Dalam implementasinya, belum ada peran pasien kanker dalam memberi masukan terhadap kebijakan pemerintah," kata Aryanthi.
Sebab itu, dia menggagas berdirinya Asosiasi Advokasi Kanker Perempuan Indonesia atau A2KPI yang didukung oleh 13 organisasi pasien kanker. Ketigabelas organisasi itu adalah Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI), Yayasan Kanker Indonesia - DKI Jakarta, Yayasan Kanker Indonesia Pusat, Lovepink, Bandung Cancer Society, Yayasan Peduli Kanker Priangan (Priangan Cancer Care/PrCC), Think Survive, Makassar Cancer Care Community, Meta Menggala, Pink Shimmer Inc, Reach to Recovery Surabaya, Bali Pink Ribbon, dan Cancer Innformation and Support Center (CISC).
"Kami merasakan ada kesamaan tujuan, yakni mendorong pelayanan yang optimal kepada pasien kanker," ucap Aryanthi di acara diskusi sekaligus peluncuran A2KPI itu. Di beberapa negara berkembang, advokasi kebijakan oleh kelompok pasien sudah mulai menjadi bagian dalam proses pembuatan kebijakan. Di Filipina misalnya, ada Cancer Coalition Philipines yang aktif menyusun Cancer Control Act. "Kami yakin sudut pandang pasien akan mampu memberikan nilai positif agar kebijakan yang dibuat pemerintah sesuai dengan kebutuhan pasien."
Peluncuran Asosiasi Advokasi Kanker Perempuan Indonesia atau A2KPI di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa 27 Maret 2018. Asosiasi ini terdiri dari 13 organisasi pasien kanker yang bertujuan menyampaikan masukan kepada pemerintah untuk perbaikan pelayanan kersehatan. TEMPO | Rini K
Dia menceritakan cikal bakal pembentukan Asosiasi Advokasi Kanker Perempuan Indonesia ini bermula pada 12 Januari 2018. Saat itu, Aryanthi mengundang sembilan organisasi penyintas kanker perempuan untuk mendiskusikan berbagai persoalan seputar pelayanan kepada pasien kanker. Dan pada akhirnya sebanyak 13 organisasi penyintas kanker bergabung dalam A2KPI.
Kanker merupakan penyebab kematian peringkat kedua setelah penyakit jantung. Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan pada 2014 menunjukkan dari berbagai jenis penyakit kanker, ada dua macam kanker yang mengambil porsi terbesar, yakni kanker payudara dan kanker leher rahim.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Asjikin Iman Hidayat Dachlan mengatakan kematian karena kanker leher rahim mencakup 20 persen dari semua kematian akibat kanker. "Biaya pengobatan untuk kanker juga terus meningkat setiap tahunnya," kata Asjikin di acara yang sama.
Asjikin merinci total biaya pengobatan untuk kanker mencapai Rp 1,4 trliun di 2014, kemudian melonjak sampai Rp 2,2 triliun di 2015, Rp 2,3 triliun pada 2016, dan sampai September 2017 mencapai Rp 2,1 triliun. Supaya jumlah kasus kanker berkurang sekaligus menekan biaya pengobatan, Asjikin mengatakan, deteksi dini sebagai pencegahan kanker sangat diperlukan.