TEMPO.CO, Jakarta -Terkenal dengan Kerajaan Gelgel, Klungkung, Bali, tak hanya menyisakan bangunan istana dan bersejarah, tapi juga kerajinan tenun.
Tenun mulai dikenal pada abad ke-18. Semula kain tenun endek hanya dikenakan kaum bangsawan atau untuk upacara di pura. Kini kain dikenakan sehari-hari, juga seragam berbagai instansi. Bahkan juga menjadi bahan bagi para desainer busana berkreasi.
Baca: LeViCo Bawa Kain Tenun NTT di Paris Fashion Week 2018
Sejumah desa di Klungkung dikenal menjadi pusat tenun. Desa Sulang pun sama dengan Desa Geolgel.
Di Gelgel, tempat tenun endek dan songket pun mudah ditemui. Di Jalan Raya Gelgel saja, saya menemukan Dian’s Rumah Songket dan Endek, selain Pertenunan Astiti.
Para penenun umumnya berusia 30-40 tahun. Mereka memulai kerja memintal benang atau ngulak sesuai dengan corak yang telah disiapkan.
Tumpukan kain endek di gerai Pertenunan Astiti, Klungkung, Bali (rita nariswari/tempo)
Nyoman Sudira, pemilik Pertenunan Astiti mengungkapkan tenun endek punya motif asli. Di antaranya wajik atau ceplok. Namun, secara umum, corak endek meniru pola songket yang umumnya banyak meniru bentuk alam, termasuk flora atau patra.
Baca: Merawat Kain Tenun ala Cendy Mirnaz
Pada umumnya, bagi umat Hindu, kembang melambangkan kesucian hati. Selain itu, fauna atau karang banyak melambangkan sifat dewa. Disamping itu, ada juga corak dari tokoh pewayangan.
Yang menjadi corak khas Gelgel adalah burung merak, bintang, bulan, digabung dengan motif kembang-kembang atau sulur alias tumbuhan menjalar. Soal warna, trennya berubah-ubah.