TEMPO.CO, Jakarta - Survei atas para profesional di seluruh Asia-Pasifik (APAC) menemukan bahwa hampir 8 dari 10 (79 persen) pelamar kerja cenderung tidak mau menerima pekerjaan jika mereka diperlakukan buruk selama proses perekrutan. Survei yang dilakukan oleh divisi Futurestep dari Korn Ferry (NYSE:KFY), menjelaskan pentingnya bagi organisasi untuk menekankan pengalaman kandidat selama proses perekrutan.
Korn Ferry Futurestep melakukan survei ini pada September dan awal Oktober 2017. Survei mengumpulkan 589 tanggapan. Persentase dibulatkan ke desimal terdekat. Jumlah total mungkin tidak sama dengan 100 persen.
Baca: Resolusi 2018: Peningkatan Karier, Ikuti Kiat Berikut agar Sukses
Sedangkan hanya lebih dari sepersepuluh (14 persen) yang akan tetap menjadi pelanggan sebuah perusahaan jika mereka memiliki pengalaman buruk sebagai seorang kandidat, lebih dari setengah (51 persen) akan cenderung mengajak teman-teman dan anggota keluarga untuk berhenti menjadi pelanggan.
Terlebih lagi, seperempat (27 persen) akan mempertimbangkan untuk menggunakan media sosial guna membagikan pengalaman buruk mereka sebagai seorang kandidat suatu pekerjaan.
Baca juga: Zodiak Bicara tentang Kariermu Sepanjang Tahun 2018
“Kegagalan menyajikan lingkungan yang efektif dan informatif selama proses perekrutan, bisnis, atau perusahaan akan menjauhkan diri dari kandidat-kandidat terbaik serta berpotensi kehilangan pelanggan setia. Hal ini berarti uang dan waktu akan terbuang, dan kemungkinan kehilangan pendapatan karena kehilangan pelanggan,” ucap Pip Eastman, Managing Director APAC Regional Solutions Futurestep.
Survei juga menunjukkan ada dua hal yang paling mengecewakan mereka selama proses perekrutan. Meskipun dua per lima (44 persen) mengatakan tidak menerima informasi lanjutan dari perekrut atau manajer merupakan hal yang paling mengecewakan, hampir sepertiga (32 persen) menunjuk pada orang yang tidak sopan saat wawancara.
Hal ini menjadi penting ketika mempertimbangkan bahwa para responden sering mencari petunjuk dan dukungan dari para perekrut dan manajer selama proses perekrutan, dengan hampir sepertiga (30 persen) mengatakan mereka tidak percaya para perekrut memberikan bekal dan tip yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Jangan lewatkan: Angel Lelga Awalnya Ogah Bisnis Kue, lalu Ada Madinah Cake
“Tidak ada alasan sama sekali bagi perekrut dan manajer untuk tidak menanggapi para kandidat, bahkan jika komunikasi tersebut berbentuk elektronik. Teknologi baru dan peralatan sekarang mempermudah tugas perekrutan tradisional, memberikan lebih banyak waktu bagi perekrut untuk melayani kandidat yang sesuai dan memberikan nasihat strategis kepada klien mereka,” ujar Eastman.
Komunikasi dari mulut ke mulut juga merupakan faktor kunci untuk kemungkinan perekrutan, di mana hampir setiap responden (93 persen) mengaku melakukan riset daring terlebih dulu untuk mengumpulkan ulasan tentang bekerja di suatu perusahaan. Taktik utama untuk menjaring kandidat adalah dengan mengadopsi strategi branding perekrut, yang dapat dihidupkan kembali dengan menggunakan platform digital perusahaan.
Untuk sepertiga (33 persen), elemen yang paling penting bagi mereka di dalam laman web adalah melihat langsung melalui video atau mengetahui studi kasus dari berbagai karyawan mengenai budaya perusahaan dan bagaimana rasanya bekerja di sana.
“Kebutuhan untuk menampilkan diri sebagai perekrut menjadi lebih penting lagi, dan dampaknya terhadap bagaimana perekrut berkomunikasi dan menjual cerita mereka kepada kandidat merupakan hal yang tidak bisa dianggap remeh,” ujar Neil Griffiths, Vice President Global Brand, Marketing, & Communication Futurestep.
“Perekrut dan manajer penguji seharusnya melihat budaya perusahaan dan memastikan bahwa strategi go-to-market sejalan dengan merek. Suatu merek yang dapat mengkomunikasikan tujuan dan budayanya dan bagaimana peran setiap individu di dalam pada akhirnya akan tampil sebagai perekrut yang jauh lebih menarik,” ujarnya.