TEMPO.CO, Jakarta - Skandal pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh produser ternama Harvey Weinstein, 65 tahun, kini mulai terkuak. Sekitar 50 perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan mereka berasal dari kalangan selebritis maupun model.
Kendati mereka yang menjadi korban pelecehan ini berasal dari kalangan terpelajar, namun mereka sebelumnya kompak tutup mulut. Sampai akhirnya Rose McGowan, 44 tahun, dan Ashley Judd, 49 tahun, menceritakan pengalaman kelam mereka dengan Harvey Weinstein pada The New York Times pada 5 Oktober lalu.
Gwyneth Paltrow, 45 tahun, merupakan salah satu korban pelecehan Harvey Weinstein. Dia menceritakan peristiwa itu terjadi ketika dia berusia 22 tahun. Saat itu, Harvey meminta Gwyneth Paltrow untuk memijat tubuh sang produser. "Waktu itu saya masih sangat muda, baru dikontrak di sebuah film. Saya bingung dan ketakutan," kata Gwyneth Paltrow yang akhirnya menuruti permintaan Harvey.
Cara Delevingne, 25 tahun, juga merasakan pengalaman serupa. Dia menggatakan Harvey Weinstein pernah mencoba menciumnya di sebuah kamar hotel. Namun dia berhasil menghindar kemudian meninggalkan kamar hotel tersebut. “Aku ragu mengungkap soal ini (pelecehan seksual). Aku tidak ingin menyakiti keluarganya. Aku merasa bersalah seolah-olah aku adalah yang salah. Aku takut," tulis Cara Delevigne di akun Instagramnya.
Perasaan takut merupakan faktor utama yang dirasakan oleh semua korban kekerasan seksual baik dari kalangan biasa maupun tokoh yang berpengaruh sekalipun. Psikolog dari Yayasan Pulih, Gisella Tani Pratiwi mengatakan seksualitas adalah isu yang sangat pribadi dan masih dianggap tabu untuk diungkap.
Sebabnya, masyarakat masih menganut budaya patriarki di mana perempuan diposisikan sebagai pihak nomor dua dan laki-laki lebih dominan. "Lingkaran kekerasan terjadi karena adanya ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban," ujarnya.
Ketimpangan kuasa yang dimaksud dalam kekerasan seksual adalah berkaitan dengan gender, apalagi jika pelaku memiliki kuasa untuk menentukan nasib korban. Hal ini membuat korbat sulit untuk ‘lari’ atau ‘memutus pola’ kekerasan yang dialami sehingga kekerasan tersebut bisa terjadi lebih dari sekali. "Bisa juga korban diteror oleh pelaku sehingga dia memilih untuk tetap bungkam," ucap Gisella.
Budaya patriarki pun menyebabkan korban kekerasan seksual menghayati dirinya sebagai pihak yang lemah sehingga ia justru merasa bersalah, dan malu sampai tak bisa mengungkapkan kejadian yang menimpanya. Kekerasan seksual juga akan menyebabkan trauma secara psikologis sehingga korban semakin sulit untuk mengungkapkannya.