TEMPO.CO, Jakarta - Banyak orang tua merasa jika anak terlalu sering di rumah, kegiatan mereka tidak terarah dan kurang bermanfaat. Itu sebabnya orang tua senang mendaftarkan anak ke berbagai kegiatan sejak bayi, mulai dari sekolah khusus bayi, pusat kebugaran bayi, hingga les renang.
Di rumah, permainan mereka sudah ditentukan. Memasuki usia sekolah, kegiatan mereka lebih padat lagi. Selain sekolah, anak didaftarkan les musik, menari, bahasa asing, hingga kursus bela diri. Anda yakin kegiatan sebanyak itu dapat dirasakan manfaatnya dan dinikmati si kecil?
Baca Juga:
Berdasarkan survei yang digagas perusahaan mainan asal Amerika Serikat, Melissa & Doug, di 2017 ini mayoritas orang tua masa kini tidak menyukai waktu bermain anak yang tidak terstruktur. Sebanyak 57 persen orang tua dari 1.000 responden asal Australia, Kanada, dan Britania Raya percaya satu-satunya kemampuan yang didapat anak dari kegiatan tidak terstruktur hanya kreativitas.
Data lain menyebut, hanya tiga dari 10 orang yang percaya anak bisa mengembangkan kemampuan memecahkan masalah, rasa percaya diri, dan kemampuan lain, seperti seni serta bela diri dari permainan tidak terstruktur.
Baca juga:
Cara Asuh Otoriter dan Permisif akan Dorong Bullying pada Anak
Orang Tua Boleh Kasih Anak Gadget dengan Syarat Ini
Tips dari Ahli Agar Anak Kuat dan Terhindar dari Bullying
Baca Juga:
Salah satu pendiri Melissa & Doug, Melissa Bernstein, menyebut terlalu banyak kegiatan, yang dianggap terstruktur dan bermanfaat, justru menyiksa anak.
“Anak-anak saat ini mengalami level tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecemasan, depresi, semuanya muncul dari rasa kurang percaya diri dan kurangnya kegembiraan, kemandirian, hubungan, dan perasaan yang muncul dari diri mereka sendiri,” ungkap Melissa.
Ketika anak menjalani hari-hari dengan kegiatan terstruktur yang ditentukan orang tua, mereka kehilangan kesempatan mengeksplorasi diri.
“Kita mungkin berpikir, mendaftarkan anak mengikuti banyak kegiatan melindungi mereka dari rasa bosan atau merasa tertinggal dari teman-teman seusia. Padahal, kita justru menghalangi mereka merasakan pengalaman tanpa batas untuk menemukan jati diri, gairah, dan tujuan,” ulasnya.