TEMPO.CO, Jakarta - Hartono Sumarsono adalah kolektor batik Indonesia kelahiran Arjawinangun, Cirebon, Jabar, pada 1953. Ia pindah ke Jakarta pada 1968 dan membantu pamannya menjual batik di Tanah Abang, Jakpus. Hartono sudah mulai mengoleksi batik sejak 1983.
“Saya mulai prihatin mendengar batik mungkin bisa hilang dari budaya Indonesia atau diklaim oleh negara asing. Karena itu saya mulai mengoleksi batik dengan motif kuno yang sekarang sudah tidak dapat dilihat di tempat lain,” ujar Hartono.
Sejak itu, Hartono terus mencari motif-motif batik kuno yang unik sampai keluaran 1850-an. Sekarang, dia memiliki lebih dari 1.000 batik dari Madura, Lasem, Kudus, Tegal, Pekalongan, dan Banyumas. Batik dari Lasem tahun 1850-an adalah koleksinya yang terkuno.
“Karena Jakarta adalah kota yang sangat lembab, koleksi saya disimpan di satu ruangan dengan AC bertemperatur 20-22 derajat selama 24 jam,” lanjut Hartono.
Dia juga menjelaskan cara penyimpanan. Batik dapat disimpan dengan dilipat dan tidak akan merusak warna dan bentuk.
Hartono bekerjasama dengan 40 perajin di Pekalongan, Jateng, dengan rentang umur 18-60-an tahun untuk melakukan reproduksi motif kuno. Jenisnya adalah batik tulis, jadi tidak bisa membuat terlalu banyak. Dalam waktu dua bulan, perajin dapat menghasilkan 12-13 potong batik. Setiap motif diharapkan dapat dibuat lebih dari 20 jenis.
Walaupun Hartono menjual kain batik yang direproduksinya, dia lebih mementingkan kelestarian. “Saya ingin mengangkat kembali motif batik yang kuno tersebut,” ujar Hartono.
Dia juga aktif menulis buku untuk mengabadikan keindahan batik dan membagi pengetahuannya mengenai batik kepada publik, terutama untuk generasi muda.
ASTARI PINASTHIKA SAROSA
Tip lain:
5 Pekerjaan Seru untuk Generasi Milenial, Apa Saja Itu?
9 Cara Mengetahui Detak Jantung Normal pada Anak
5 Kiat Menyimpan Bawang agar Tahan Lama